Beranda | Artikel
Belajar Tauhid, Mengapa Tidak?
Minggu, 26 Juli 2020

Bismillah. Wa bihi nasta’iinu.

Adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri, bahwa banyak orang kurang tertarik untuk belajar tauhid. Sebagian menilai bahwa perkara tauhid bukan masalah yang pokok untuk dibahas di saat-saat sekarang ini. Menurut mereka, banyak isu dan persoalan umat yang lebih utama untuk diangkat dan digencarkan. Ada yang mendengung-dengungkan seruan ini dan itu; yang pada intinya bukan lagi memprioritaskan dakwah tauhid.

Ternyata fenomena seperti ini bukan barang baru. Berpuluh tahun silam bahkan beberapa abad sebelum ini para ulama telah menjumpai perkara serupa. Sebagian orang yang menisbatkan diri kepada ilmu dan dakwah telah memusatkan perhatian kepada perkara fikih dan yang semacamnya sembari menelantarkan dakwah tauhid. Hal ini terjadi pada masa-masa munculnya dakwah Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Sekitar pada abad 11 – 12 H yang mana pada waktu itu banyak ulama di Nejed yang lebih perhatian dalam ilmu fikih tetapi mengabaikan ilmu akidah dan tauhid; sehingga banyak di antara mereka yang terjatuh dalam penyimpangan akidah. Hal ini dituturkan oleh Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam ceramah beliau mengenai hakikat dakwah Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab.

Pada masa-masa kita sekarang ini sejak sekitar puluhan tahun yang silam pun fenomena serupa muncul di tengah kaum muslimin. Bangkit berbagai kelompok Islam yang menamakan dirinya sebagai harakah islamiah atau gerakan-gerakan Islam yang konon katanya ingin mengembalikan kejayaan Islam tetapi pada kenyataannya mereka justru menepikan dakwah tauhid dalam agenda-agenda dakwahnya. Sebagian meneriakkan penegakan khilafah. Sebagian lagi menceburkan diri dalam politik praktis ala Yahudi. Sebagian lagi bergabung dengan kaum Liberal dan Sekuler dengan kedok pembaharuan Islam dan pemahaman Islam yang moderat. Mereka tidak henti-hentinya “menggembosi” dakwah tauhid, sadar atau tidak. 

Medan dakwah pun ternoda oleh berbagai kepentingan dan ambisi-ambisi hina para durjana. Mereka berupaya menjadikan dakwah sebagai kendaraan untuk merebut tampuk kekuasaan. Mereka menunggangi armada dakwah demi mengumpulkan suara untuk menduduki posisi strategis dan kursi basah dengan dalih maslahat dakwah.

Pada hari ini, dunia dakwah terutama di media-media penyiaran yang menjadi pusat informasi publik tidak menyuarakan dakwah tauhid dengan sebagaimana mestinya. Program dakwah sekedar menjadi pelengkap dan penghias tayangan di layar kaca. Tayangan semacam ini pun tidak mendapatkan porsi yang layak. Disiarkan pada saat banyak orang telah terlelap tidur. Apalagi materi dakwah tauhid; seolah tidak ada gaung dan sentuhan padanya. Karena dakwah tauhid dianggap sebagai simbol radikalisme dan pemecah-belah persatuan. Dakwah tauhid dilabeli sebagai intoleransi. Sementara pada saat yang sama kerusakan moral dan kemerosotan akhlak dibela dengan dalih kebebasan, seni, dan hiburan.

Saudaraku yang dirahmati Allah, dakwah tauhid ini bukan saja wajib untuk ditegakkan, tetapi ia wajib untuk dinomorsatukan. Allah berfirman,

وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِي كُلِّ أُمَّةٖ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُواْ ٱلطَّٰغُوتَۖ فَمِنۡهُم مَّنۡ هَدَى ٱللَّهُ وَمِنۡهُم مَّنۡ حَقَّتۡ عَلَيۡهِ ٱلضَّلَٰلَةُۚ فَسِيرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَٱنظُرُواْ كَيۡفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلۡمُكَذِّبِينَ ٣٦

“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut’” (QS. An-Nahl: 36).

Para rasul sejak dahulu kala telah menyebarkan dakwah tauhid ini kepada umatnya. Nabi Nuh ‘alaihissalam mendakwahi kaumnya selama 950 tahun. Para rasul setelahnya pun tidak bosan-bosan untuk membimbing manusia untuk mentauhidkan Allah. 

Allah berfirman kepada Nabi-Nya yang paling mulia dan Rasul-Nya yang terakhir,

وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِيٓ إِلَيۡهِ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ ٢٥

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku’” (QS. Al-Anbiya: 25).

Hal itu merupakan sebuah keniscayaan, karena tauhid inilah tujuan utama diciptakannya jin dan manusia. Allah berfirman,

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ ٥٦

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56).

Orang yang memerintahkan kita untuk mengutamakan dakwah tauhid bukanlah orang sembarangan. Beliau adalah Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam. Dalam hadisnya, Nabi shallallahu‘alaihi wasallam berpesan kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu ketika diutus untuk berdakwah ke Yaman, 

“Hendaklah yang paling pertama kamu serukan kepada mereka adalah laa ilaha illallah …” dalam sebagian riwayat disebutkan, “supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Bukhari pun mencantumkan hadis ini dalam Sahihnya dalam Kitab At-Tauhid. Imam Bukhari menyebutkan hadis tersebut dalam bab yang berjudul: “Dakwah Nabi shallallahu‘alaihi wasallam kepada umatnya dalam rangka mentauhidkan Allah Ta’ala”. Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu bukanlah orang sembarangan. Beliau adalah seorang ulama di kalangan para sahabat yang sangat memahami hukum halal dan haram. Meskipun demikian, Nabi shallallahu‘alaihi wasallam tetap mengajarinya untuk memprioritaskan dakwah tauhid. Para ulama juga menarik kesimpulan dari hadis tersebut bahwa wajib untuk memulai dakwah dari yang terpenting kemudian diikuti perkara penting sesudahnya. Pembenahan akidah adalah pondasi dalam agama. Oleh sebab itu, ia lebih didahulukan dari perkara syariat yang lainnya (lihat al-Mulakhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 55).

Mungkin sebagian orang ada yang berkomentar: “Bukankah orang-orang yang kita dakwahi ini kebanyakan kaum muslimin, toh mereka sudah mengucapkan dua kalimat syahadat; untuk apa kita repot-repot menjelaskan kepada mereka tauhid?”

Saudaraku yang dirahmati Allah, pengetahuan dan pemahaman tentang tauhid adalah kunci kebaikan seorang hamba. Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki padanya kebaikan niscaya Allah pahamkan dia dalam urusan agama.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Imam Tirmidzi juga membawakan hadis ini dalam bab yang berjudul “Apabila Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba maka Allah pahamkan dia dalam agama” (lihat penjelasan Syekh Abdul Muhsin al-’Abbad dalam Kutub wa Rasa’il ‘Abdil Muhsin, 2/38).

Pemahaman dalam hal agama merupakan pondasi tegaknya amal saleh. Karena dengan pemahaman yang benar dalam agama, akan diperoleh ilmu yang bermanfaat yang itu menjadi asas untuk melakukan amal saleh. Allah berfirman,

هُوَ ٱلَّذِيٓ أَرۡسَلَ رَسُولَهُۥ بِٱلۡهُدَىٰ وَدِينِ ٱلۡحَقِّ لِيُظۡهِرَهُۥ عَلَى ٱلدِّينِ كُلِّهِۦۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ شَهِيدٗا ٢٨

“Dia lah (Allah) yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar.” (QS. Al-Fath: 28).

Para ulama tafsir menerangkan bahwa yang dimaksud “petunjuk” adalah ilmu yang bermanfaat, sedangkan yang dimaksud dengan “agama yang benar” ialah amal saleh (lihat al-Mulakhash al-Fiqhi, 1/7).

Syekh Dr. Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri hafizhahullah – seorang ulama besar di Arab Saudi sekaligus ahli fikih dan ahli usul – menjelaskan bahwa asas dari agama ini adalah iktikad atau akidah. Seandainya ada orang yang berpegang-teguh dengan hukum agama dalam cabang-cabang syariat Islam ini tetapi dia tidak berpegang-teguh dengan akidah kita (tauhid) maka hal itu tidak akan bermanfaat untuknya di hadapan Allah. Oleh sebab itulah pertanyaan yang ditujukan kepada seorang hamba pada saat di alam kuburnya adalah berkaitan dengan akidah; Siapa Rabbmu? Apa agamamu? Siapa nabimu? (lihat Syarh Mutun al-’Aqidah, hal. 5).

Kita tidak mengingkari bahwa kaum muslimin telah mengucapkan dua kalimat syahadat ini. Itu adalah fakta. Akan tetapi bukankah banyak di antara kaum muslimin pula yang tidak memahami kandungan dan konsekuensi dari kedua kalimat syahadat itu. Sehingga kita dapati anggapan bahwa kalimat laa ilaha illallah itu sudah cukup, walaupun orang itu beribadah kepada selain Allah, walaupun dia melakukan syirik akbar; bahkan mereka menganggap syirik sebagai ketaatan dan amal saleh..

Allah berfirman,

أَلَا لِلَّهِ ٱلدِّينُ ٱلۡخَالِصُۚ وَٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُواْ مِن دُونِهِۦٓ أَوۡلِيَآءَ مَا نَعۡبُدُهُمۡ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى ٱللَّهِ زُلۡفَىٰٓ 

“Dan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai penolong/sesembahan. Mereka itu mengatakan; ‘Tidaklah kami menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan diri kami kepada Allah.’” (QS. Az-Zumar: 3).

Allah juga berfirman,

وَيَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمۡ وَلَا يَنفَعُهُمۡ وَيَقُولُونَ هَٰٓؤُلَآءِ شُفَعَٰٓؤُنَا عِندَ ٱللَّهِۚ

“Dan orang-orang yang beribadah kepada selain Allah apa-apa yang sama sekali tidak memberikan mudarat atau manfaat kepada mereka, sembari mereka mengatakan, ‘Mereka ini adalah para pemberi syafaat bagi kami di sisi Allah.’” (QS. Yunus: 18)

Dan yang sangat disayangkan adalah munculnya orang-orang yang dianggap sebagai ulama dan ditokohkan tetapi tidak punya perhatian besar terhadap tauhid dan akidah Islam. Bagaimana mungkin mereka mengajak kepada Islam dengan menyingkirkan muatan dakwah tauhid? Mereka gemar menyerukan bahwa Islam itu rahmatan lil ‘alamin; tetapi anehnya mereka hapuskan akidah Islam. Padahal akidah itulah sebab utama turunnya rahmat Allah kepada manusia.

Bukankah Allah mengutus Nabi-Nya untuk menjadi rahmat bagi segenap manusia? Dan bukankah misi dakwah beliau yang paling utama adalah mengentaskan manusia dari gelapnya syirik menuju terangnya tauhid. Lantas bagaimana mungkin bisa mewujudkan misi Islam rahmatan lil ‘alamin tanpa mengajarkan tauhid dan mengokohkan aqidah dalam hati manusia?!

Tidakkah kita ingat perintah Allah dalam ayat-Nya,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ٢١

“Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian; Yang menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian; mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 21).

Allah juga menjelaskan,

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُ و

“Dan Rabbmu telah menetapkan; bahwa janganlah kalian beribadah kecuali kepada-Nya” (QS. Al-Isra’: 23).

Bukankah Allah juga berfirman,

 يَوۡمَ لَا يَنفَعُ مَالٞ وَلَا بَنُونَ ٨٨ إِلَّا مَنۡ أَتَى ٱللَّهَ بِقَلۡبٖ سَلِيمٖ ٨٩ 

“Pada hari itu (kiamat) tiada berguna harta dan keturunan kecuali bagi orang yang datang menghadap Allah dengan membawa hati yang selamat.” (QS. asy-Syu’ara: 88-89)

Allah juga berfirman, 

وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡ‍ٔٗا

“Dan sembahlah Allah, dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (QS. An-Nisa: 36).

Seandainya semua amal kebaikan itu dilakukan oleh seorang hamba tetapi tidak dilandasi dengan tauhid maka seluruh amalnya akan hancur dan sia-sia. Allah berfirman,

وَلَقَدۡ أُوحِيَ إِلَيۡكَ وَإِلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكَ لَئِنۡ أَشۡرَكۡتَ لَيَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٦٥

“Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu; Jika kamu berbuat syirik pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65).

Bukankah Nabi shallallahu‘alaihi wasallam juga bersabda, “Hak Allah kepada segenap hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Tauhid inilah kewajiban terbesar dan ketaatan paling agung yang menjadi sebab utama untuk meraih rahmat Allah dan ampunan-Nya. Sebaliknya, syirik adalah sebab kemurkaan Allah dan azab-Nya. Allah berfirman,

إِنَّهُۥ مَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدۡ حَرَّمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ ٱلۡجَنَّةَ وَمَأۡوَىٰهُ ٱلنَّارُۖ وَمَا لِلظَّٰلِمِينَ مِنۡ أَنصَارٖ ٧٢

“Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah benar-benar Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu seorang pun penolong.” (QS. Al-Maidah: 72).

Tauhid bukan sekedar dengan mengucapkan kalimat syahadat. Iman juga tidak cukup hanya dengan ucapan lisan dan keyakinan hati. Iman harus diwujudkan dalam bentuk amal perbuatan anggota badan. Sebagaimana kalimat tauhid menuntut orang untuk menghamba kepada Allah semata dan meninggalkan syirik kepada-Nya. Tidaklah dia menujukan ibadah kecuali kepada Allah. Allah berfirman,

وَأَنَّ ٱلۡمَسَٰجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدۡعُواْ مَعَ ٱللَّهِ أَحَدٗا ١٨

“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kalian menyeru/beribadah bersama dengan Allah siapa pun juga.” (QS. Al-Jin: 18).

Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu hanya dengan angan-angan atau memperindah penampilan. Akan tetapi iman adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amal-amal perbuatan.”

Saking pentingnya ilmu tauhid ini para ulama terdahulu menyusun pembahasan khusus guna menjelaskannya kepada umat. Mereka menulis kitab akidah dengan berbagai sebutan; Kitabul Iman, Kitab Asy-Syari’ah, Kitab At-Tauhid, Kitab As-Sunnah, Kitab I’tiqad dan lain-lain. 

Mereka menggali akidah itu dari dalil Al-Quran dan As-Sunnah dengan pemahaman para sahabat Nabi. Bukan mengarang akidah dari hasil pikiran atau perasaan atau tradisi mereka sendiri. Imam Malik rahimahullah berkata, “Tidak akan memperbaiki keadaan generasi akhir umat ini kecuali dengan apa-apa yang telah memperbaiki keadaan generasi awalnya.” Semoga nasihat Imam Malik ini bisa kita pahami dan kita amalkan dalam kehidupan. 

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi


Artikel asli: https://muslim.or.id/57730-belajar-tauhid-mengapa-tidak.html